Mechanical and Electrical Department

Blog ini berisi tentang kegiatan-kegiatan serta files penunjang pekerjaan di Bagian Mekanik dan Listrik, PT. Yasa Wahana Tirta Samudera (PT. YWTS). Semoga Blog ini dapat bermanfaat bagi penggunanya.

Kamis, 14 Oktober 2010

Strategi PAL Menggenjot Efisiensi

Kamis, 09 Maret 2006
Oleh : Firdanianty dan Suhariyanto
URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/praktik/details.php?cid=1&id=4020

Lewat serangkaian pembenahan sederhana, kinerja pabrik kapal ini terlihat makin kinclong. Di sisi lain, proses produksi pun berjalan lebih efisien. Bagaimana perubahan dilakukan?
Loncatan bunga api yang memercik dari gesekan dan proses penyambungan baja di PT PAL Indonesia membuat suhu udara di sekitar galangan kapal lebih panas dari biasanya. Hari itu waktu menunjukkan pukul 11.00 WIB. Di sudut lain, beberapa pekerja tampak sedang menggerinda dan mengelas lambung depan atas kapal niaga bertitel Stadt Solingen, pesanan Pemerintah Jerman. Sesekali, truk atau mobil pengangkat barang (fork lift) melintas.

Tiga puluh menit kemudian, terdengar suara sirine meraung-raung. Seketika, para pekerja menghentikan aktivitasnya. Semenit kemudian, mereka pun berbaris rapi. Satu per satu menuruni kapal niaga dan menginjakkan kakinya di bumi untuk beristirahat siang. Dilihat dari kejauhan, 400 pekerja yang berbaris menuruni tangga kapal tampak mirip serombongan semut yang berjalan merayap.

Pemandangan itu, dibandingkan dengan beberapa tahun silam, sangat bertolak belakang. Dulu, saat jam kerja masih berlangsung, karyawan tidak jarang naik-turun dari dan menuju kapal niaga yang sedang dikerjakan. Alasannya sederhana: perlu ke toilet untuk melepas hajat atau sekadar mencari air minum guna mengurangi dahaga.

Sejatinya, ini manusiawi mengingat beratnya pekerjaan di atas kapal. Hanya saja, setelah dievaluasi, ternyata banyak waktu yang terbuang lantaran jauhnya jarak toilet dan tempat minum dari galangan. Akibatnya, proses penyelesaian pekerjaan menjadi lebih panjang dari yang seharusnya.

Bermula dari kondisi itu, manajemen memutuskan memperbaiki infrastruktur yang kurang mendukung efisiensi dan efektivitas kerja. Strategi yang diterapkan tidak terlampau sulit: membuat toilet dan memasang tangki stainless besar berisi air minum. Dengan demikian, jika akan buang air kecil atau besar, pekerja tidak perlu turun dari kapal. Pun, ketika merasa haus, cukup memencet keran tangki berisi air minum. “Kami memulainya dari yang simpel-simpel,” kata Adwin H. Suryohadiprojo, Direktur Utama PT PAL Indonesia.

Adwin memang bukan Chaim Schreiber yang pada 1974 menerapkan resep “Jadikanlah sederhana” untuk mengobati penyakit menahun yang kala itu diderita Hotpoint – produsen peralatan rumah tangga Inggris – hingga perusahaan ini perlahan-lahan membaik. Ketika Adwin didapuk menduduki posisi puncak pada 1998, peluang pasar kapal domestik terbuka lebar. Catatan BeiNews menyebutkan, pasar angkutan ekspor-impor laut domestik diperkirakan mencapai US$ 8-9 miliar/tahun. Belum lagi ditambah pasar ekspor yang nilainya jauh lebih besar dari itu. Pada 1998, PAL juga tidak sedang mengalami kerugian finansial. BUMN ini masih sanggup mengantongi laba sebesar Rp 16 miliar.

Jadi, apa kesamaan PAL dengan Hotpoint? Bila ditelaah dengan cermat, keduanya sama-sama menerapkan resep awal berupa “Jadikanlah sederhana” guna mengobati penyakit kronis yang melekat pada organisasi perusahaan. Dalam pandangan Adwin, potensi sumber daya manusia di perusahaannya tidak kalah dari perusahaan di negara lain. Hanya saja, "Perlu diasah agar sesuai dengan tuntutan industri, seperti disiplin, efisien, bertanggung jawab, memahami mata rantai tugas dan etika bisnis.”

Sebenarnya, sebelum peraih Adidharma Profesi Award dari Persatuan Insinyur Indonesia ini bergabung pun, aspek SDM sudah digarap serius. Tepatnya sejak 1980, PAL mengirimkan karyawan level manajer menengah-atas ke pusat-pusat pendidikan teknologi kapal dunia yang cukup disegani dan banyak dijadikan panutan. Untuk kapal kargo, misalnya, Jepang dijadikan tempat berguru. Adapun kapal penumpang, Jerman menjadi negara tujuan belajar. Itu pun waktunya bukan 1-2 tahun, melainkan hingga 10 tahun lebih. Malah, pada 1990 program pendidikan dan on the job training diperluas dengan mengirimkan kepala bengkel dan pelaksana ke Jepang.

Harapan yang digantungkan, selain keahlian menjadi lebih baik, karyawan juga bisa menularkan virus positif berupa semangat kerja sebagaimana yang terjadi di negara-negara maju. Agar harapan tidak terbang ke angkasa, PAL menyiapkan ruang dan suasana kondusif -- sebagaimana terjadi di Jepang dan Jerman – melalui 5 pilar. Pertama, pengoleksian, pengayaan dan distribusi kreativitas. "Ini penting, mengingat produk PAL tidak hanya membutuhkan keringat dan otak, melainkan juga kreativitas," tutur lulusan Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung serta peraih gelar MBA dari University of New York dan gelar doktor teknik mesin dari University of Texas.

Kedua, komunikasi. Adwin mengakui, sering terjadi, kinerja melemah karena kurang cermatnya koordinasi antarbagian atau antardivisi yang terlibat. Untuk meminimalisasinya, diterapkan sejumlah instrumen penyaluran pesan: Internet, intranet,  memo konvensional, dan sebagainya. “Yang penting, bagaimana cara menyampaikan pesannya. Kalau dilakukan dengan baik dan etis, tentu komunikasi berjalan lancar. Intinya, harus ada pengendalian diri di antara pihak yang sedang berkomunikasi.”

Ketiga, kedisiplinan. Roh disiplin harus menghinggapi semua lini organisasi agar produktivitas meningkat. Keempat, teamwork. Mengingat proses produksi bersifat kontinyu, kekompakan tim menjadi mutlak. Bila tidak, "Durasi pekerjaan (jadi) lebih lama dan produk tidak sesuai yang diharapkan," ujarnya. Kelima, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mengenai hal ini, ia menandaskan, penerapannya banyak sekali, antara lain kegiatan outbond, pelatihan ESQ dan pertemuan rutin.

Kini, PAL sudah memetik hasilnya. Misalnya, seiring dengan tumbuhnya kesadaran atas keselamatan kerja, penggunaan helm pengaman jadi kebutuhan. "Dulu karyawan enggan sekali mengenakannya. Ada yang beralasan sumuk, repot, menambah beban, dan lain-lain," ujar Adwin mencontohkan salah satu perubahan positif di lingkungan kerjanya.

Selain kebersihan, hal-hal kecil dan sederhana yang merupakan bagian kedisiplinan, diakui Adwin, menjadi perhatiannya. Ini karena kedua hal itu dijadikan alat ukur penilaian kinerja karyawan secara keseluruhan. Alasannya, kalau tidak disiplin dan bersih, susah mengharapkan peningkatan produktivitas kerja.

Demikian pula di bidang teknologi informasi. Ketika TI ramai diperbincangkan orang, PAL juga tak mau ketinggalan. Pada 2001, software Tribone (desain dan manufaktur kapal) mulai diterapkan sehingga proses pembuatan kapal lebih efisien. Dulu, setelah kontrak ditandatangani, divisi produksi dan keuangan harus menunggu lebih dari dua bulan untuk memperoleh detail keperluan pendukung. Kini, divisi teknologi dan desain membutuhkan tak lebih dari sebulan guna menyelesaikan pekerjaan. Akan tetapi, dikatakan Adwin, "Tergantung pada jenis kapal yang dipesan.”

Tak hanya itu. TI juga dikendarai untuk memilih material bernilai besar. Menggunakan e-Auction melalui internet, siapa pun dan dari negara mana pun, dapat mengikuti lelang pengadaan material di BUMN ini. Dalam hal ini, tentu penawar terendahlah yang dipilih sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya patgulipat antara pemasok dan oknum karyawan di bagian pengadaan material.

Restrukturisasi ala PAL Indonesia -- kalau boleh disebut demikian -- ternyata tidak hanya berupaya mengubah budaya perusahaan menjadi lebih kondusif dan pekerjaan operasional lebih lancar, tetapi juga bersinggungan dengan tiga hal lain. Pertama, membenahi channel pasar. Kedua, memperbaiki struktur modal. Ketiga, merevaluasi aset.

Di jalur pemasaran, Adwin mengungkapkan, bagian pemasaran berperan aktif mencari order dan memperbanyak saluran penjualan. Namun, ia melanjutkan, informasinya tidak harus berasal dari orang pemasaran saja. "Semua karyawan diwajibkan jadi marketer sekaligus sales," katanya seraya mencontohkan, ketika PT Semen Padang membutuhkan power plant, informasi justru datang dari Kepala Biro Hukum.

Berbagai pembenahan itu kini makin memperlihatkan jejak PAL di industri perkapalan Indonesia. Buktinya, divisi kapal niaga yang memproduksi kapal dengan berat maksimal 50 ribu death weight tons dan berkapasitas 6 unit kapal/tahun, menurut Adwin, "Sudah full booking sampai 2008.” Adapun di lini produksi kapal perang, PAL juga mempunyai kemampuan produksi jika sewaktu-waktu pesanan datang.

Sebagai negara maritim, sejatinya potensi pasar domestik sangat besar. Namun, sejauh ini 80% pesanan datang dari mancanegara seperti Jepang, Jerman, Italia, Yunani dan Turki. Buntut dari pesanan yang mengalir, kinerja pun lumayan bagus. Pada 2003, PAL mampu mencetak omset Rp 734,9 miliar dan mengantongi laba bersih Rp 17,04 miliar. Tahun berikutnya (2004), omset turun 4,6% atau menjadi Rp 700,8 miliar. Namun, laba bersih yang dibukukan naik 4,7% menjadi Rp 17,8 miliar. Di tahun yang sama, perusahaan juga berhasil mengikat kontrak (khususnya dengan pasar ekspor) senilai Rp 1,6 triliun dengan rincian: produk kapal niaga US$ 139,6 juta; kapal cepat US$ 22,2 juta; general engineering US$ 8,05 juta; serta jasa pemeliharaan dan perbaikan kapal Rp 74 miliar.

Dibandingkan dengan BUMN lain, manajemen PAL terkesan lebih transparan dalam memaparkan kondisi keuangannya. Setidak-tidaknya, kesan itu dapat dilihat dari diterbitkannya Annual Report yang diaudit akuntan publik dan ditulis dalam dwi bahasa: Indonesia dan Inggris -- sebagaimana biasa dilakukan perusahaan terbuka yang tercatat di Bursa Efek Jakarta – yang dapat diakses siapa pun. "Sebagai pemain internasional, Annual Report itu penting. Terutama untuk meyakinkan pasar. Bagaimana calon pembeli mau memberi order, kalau tidak terbuka?" tutur Adwin.

Dalam urusan perbaikan struktur modal, pada 2002 nilai aset PAL sebesar Rp 1,6 triliun dengan modal Rp 70 miliar. Menurut Adwin, kondisi ini membuat perusahaannya kurang bankable. Terlebih, di masa lalu perbankan tidak peduli pada industri galangan kapal karena dinilai tidak prospektif. PAL pun kemudian mendekati perbankan dengan memberi berbagai penjelasan seputar industri galangan kapal, termasuk risikonya dibandingkan dengan sektor lain. Hasilnya? "Untuk kredit modal kerja berjangka pendek, kami memperoleh respons positif dari Bank Ekspor Indonesia, BNI, Bank Mandiri dan Bank Bukopin," ungkapnya sumringah.

Sementara itu, dalam urusan merevaluasi aset, PAL fokus pada bisnis intinya saja sehingga divisi-divisi yang tak terkait langsung seperti pendidikan & latihan, kendaraan antar-jemput karyawan serta jasa kebersihan, dengan sendirinya ditiadakan. Pekerjaan-pekerjaan itu selanjutnya diserahkan kepada pihak lain dengan cara alih daya. Perusahaan yang berbasis di Surabaya dan berdiri pada 1980 dengan status BUMN ini berharap tidak lagi direpotkan dengan segala tetek- bengek di luar bisnis intinya. "Lagi pula, lebih efisien bila dikerjakan pihak lain," ujar Adwin tandas.

Menyoroti perubahan yang dilakukan Adwin, pengamat manajemen sekaligus dosen Universitas Surabaya Bambang Irawan mengakui, PAL sekarang lebih baik kondisinya daripada beberapa tahun lalu. "Saya memperhatikan, perubahan pertama yang tampak mencolok terjadi pada awal 2000. Ketika itu, Adwin melihat di dalam tubuh PAL berkembang kerajaan-kerajaan kecil yang telah bercokol lama di masing-masing divisi (kapal perang, rekayasa umum, serta perbaikan dan pemeliharaan)," ujarnya. "Untuk menghapus kerajaan-kerajaan kecil yang berurat akar itu, setahu saya Adwin memilih strategi memutus asal-muasal pemimpin di masing-masing divisi," kata Bambang. Caranya?

Konsultan supply chain management ini kemudian menjelaskan dengan memberi contoh yang terjadi di divisi kapal perang. Sebelumnya, pemimpin divisi diharuskan orang yang berkarier lama di divisi tersebut. Namun, sejak 2000 keharusan itu dihapus; pihak PAL mencampur orang-orang di satu divisi. "Kepala divisi kapal perang, misalnya, memang diambil dari divisi yang sama. Tetapi, wakilnya tidak. Ia bisa dari divisi niaga atau lainnya. Begitu pula divisi lain, orangnya dicampur baur," ujar Bambang menjelaskan.

Langkah yang tak umum dilakukan di lingkungan BUMN ini sudah pasti menimbulkan polemik. Sebab, kalau biasanya seorang wakil kepala divisi setelah mengabdi selama sekian tahun otomatis menjadi kepala, sejak 2000 tidak lagi demikian. Mereka harus rela diaudit kembali berdasarkan kompetensinya. "Jadi,” kata Bambang, “bukan lagi dilihat dari senioritasnya."

Tanpa disadari Adwin, beberapa karyawan yang harapannya terbendung menyimpan amunisi yang siap diledakkan. Terbukti, di penghujung 2001 amunisi itu diletuskan. "Waktu itu koran-koran Surabaya menulis tingkah polah beberapa karyawan yang tergabung dalam Serikat Pekerja PAL, yang mengadu ke DPRD Surabaya dengan membawa isu kesejahteraan karyawan dan pergeseran jabatan akibat perubahan sistem manajemen. Karena tidak ada titik temu, persoalan kemudian dibawa ke Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat. Manajemen kemudian memutuskan menghentikan karyawan dengan tidak hormat. Alasannya, mereka dinilai meninggalkan pekerjaan tanpa izin atasan," tutur Bambang panjang lebar.

Sebagai konsultan, ia sepakat dengan pilihan Adwin saat itu. Mengapa? "Karyawan yang tidak bisa diajak berubah ke arah yang lebih baik, bila dibiarkan hidup di organisasi, tak ubahnya seperti virus. Dia akan meracuni karyawan lain yang bersih," tuturnya lugas. Jadi, lanjutnya, bila berhadapan dengan situasi demikian, "Lebih baik kasih mereka golden handshake, daripada jadi virus di perusahaan.” Komitmen membersihkan karyawannya yang mbalelo, dibuktikan Adwin, sehingga dalam kurun 8 tahun jumlah karyawan menurun hingga 50% lebih. Bila pada 1998 total karyawan 6 ribu orang, sekarang hanya 2.600 orang. "Ini bentuk konkret Adwin menjaga agar SDM PAL tetap bernilai," ujar Bambang memihak. Apalagi, ia juga memperhatikan, dalam kurun bersamaan, omset dan keuntungan yang diraih juga terus meningkat.

Diakui Bambang, saat ini karyawan PAL dalam kondisi prima. Walau demikian, harus diingat, "Mereka adalah karyawan global, yang sudah tahu praktik-praktik kerja di industri yang sama di negara lain. Mereka tentunya memahami salary dan benefit yang diperoleh di negara lain untuk posisi yang sama. Itu berarti, mereka mempunyai peluang 'lari', jika mereka pikir salary tidak sepadan," katanya mengingatkan.

Ia menilai, bila hal tersebut tidak diantisipasi sejak sekarang, akan menjadi ancaman serius di masa mendatang. "Saya menyarankan, selain berusaha menyesuaikan salary dan benefit -- seperti asuransi, dan allowance -- yang tak kalah penting adalah memainkan peranti relational benefit," ujar Bambang mengusulkan. Caranya, bisa ditempuh dengan memupuk kebanggaan terhadap perusahaan, yang tak semata-mata dinilai dengan uang. Dengan kebanggaan yang tinggi, ia memastikan karyawan tidak akan hengkang kendati ditawari gaji dan benefit yang lebih tinggi di perusahaan lain.

Bambang berpendapat, setidak-tidaknya ada dua cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan relational benefit karyawan. Pertama, menumbuhkan glory. "Manajemen perlu meng-create sesuatu agar nama PAL Indonesia terkesan besar dan membanggakan. Misalnya, jika Hyundai mampu membuat kapal terbesar di dunia, barangkali PAL bisa memperbaiki kapal perang besar di dunia yang tidak dapat diperbaiki negara mana pun. Saya kira ini sangat mungkin dilakukan, mengingat SDM perkapalan kita cukup berpengalaman dan disegani negara lain," tuturnya yakin.

Kedua, menciptakan tantangan-tantangan baru agar semangat karyawan tidak padam. Di luar itu, Bambang memandang, kaderisasi kepemimpinan juga signifikan. "Sekarang, Adwin tak ubahnya seperti roh bagi PAL," ungkapnya serius. Bila suatu saat ia digantikan, bukan tak mungkin hilang pula semangat perubahan yang selama ini menjadi budaya perusahaan. Masih ingat bagaimana Bank Niaga, yang ditengarai kehilangan jiwa ketika Robby Djohan mengabdikan tenaga dan pikirannya di tempat lain? Nah, hal seperti itu pulalah yang dikhawatirkan Bambang terjadi di PAL.

Bila kekhawatiran Bambang ini benar, Adwin memang harus sanggup membuat sistem kaderisasi yang baik. Persoalannya, perusahaan yang tengah menanjak setelah melakukan serangkaian perubahan, mudah terkena efek yoyo: bergerak naik turun, yang terkadang dipengaruhi faktor pemimpin dan kepemimpinannya. Sementara mengerjakan pesanan-pesanan kapal, inilah salah satu pekerjaan rumah buat Adwin. PR buat pemerintah: PAL adalah aset yang mesti terus didorong kinerjanya. Bukan objek untuk direcoki kepentingan tak semestinya, yang ditengarai banyak terjadi di tempat lain. ***





Tidak ada komentar:

Posting Komentar